Recent Posts

Recent Comments

FAJRI 99.3 FM


Tinggal Click

Jualan Buku Tanpa Modal

Sudah Gratis, Tok Cer lagi

smadav antivirus indonesia

Dalam temaram cahaya unggun yang meretih di luar jeruji jendela sempit, Ibnu Taimiyah melihat titik-titik bening di mata para muridnya. Kejernihan di sorot matanya menebar, mendesak gemuruh api yang memakan kayu berkeretak. Ia tersenyum, merubah kemuraman menjadi cahaya lain di dalam dada yang menatapnya. Tatapan itu, senyuman penuh kasih itu, seperti sapuan salju di jiwa mereka yang membara. Kemudian, penjara kota Damaskus di tahun 728 H, menjadi saksi kata-katanya yang abadi menyejarah.
“Apa yang dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku, inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.”
Tembok-tembok yang lumutnya mengering hitam, lantai yang mencium mesra wajah sujudnya di malam dingin, dan besi-besi jeruji berkarat diam khidmat menyaksikan kebesaran jiwa seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ini.

Saudaraku...
Bahagia...! Itukah kata yang senantiasa kita cari selama ini? Oh ya... tentu bukan sekedar kata, tetapi rasa yang ingin selalu hadir di dalam jiwa dan raga.
Jika kebahagiaan adalah tujuan semua orang di dalam menjalani hidupnya, tentu kita semua akan sepakat. Sekalipun dalam bentuknya ada yang mencari kebahagiaan dengan metode-metode yang jauh dari nilai Ilahiah, bahkan diluar nalar manusia.
Namun duhai... alangkah malang nasib mereka. Pengorbanan yang mereka lakukan demi mencapai kebahagiaan itu hanyalah hembusan setan belaka. Mereka memilih sebuah jalan hidup yang disangka di sana ada nafas kebahagiaan, kiranya itu adalah hembusan kebinasaan, itu hanya sebatas fatamorgana kebahagiaan, bukan kebahagiaan yang hakiki.
Sepuas apapun kebahagiaan yang dirasakan, jika itu tidak sesuai dengan tuntunan Ilahiyah niscaya akan terselip nilai ketidakpuasaan di dalam jiwanya. Seperti halnya orang-orang yang menyangka kebahagiaan sejati ada pada harta. Disangkanya harta itu akan mengekalkan mereka dan membuat bahagia selamanya. Karenanya, tanpa mengenal letih dan peluh, bahkan tanpa mengenal aturan mereka terus mencari sumber-sumbernya, hingga, tak sedikit para pejabat menjadi serigala pemangsa rakyat, para polisi menjadi preman, dan rakyat jelata menjadi penghayal di depan layar kaca, demi seonggok harta. Namun sayang, setelah tumpukan harta ada di hadapan mereka, hati tetap gundah dan perasaan masih gelisah. Dan lebih sayangnya, ternyata, diantara kebanyakan manusia yang tenggelam pada kebahagiaan semu seperti itu adalah diri kita. Ya diri kita...!

Saudaraku...!
Jujurlah...! jika selama ini, kita memang lebih banyak mengejar harta, karena menyangka bahwa di sanalah sumber kebahagiaan! Padahal nyatanya tidak...!
Banyak juga diantara kita yang menyangka bahwa pangkat dan kekuasaan adalah kebahagiaan. Ketika melihat mereka yang berkuasa dan berharta, secara lahir begitu tampak bahagia hidupnya. Pergi dijemput, pulang diantar, ketika ia berkehendak tinggal memesan, perintahnya tidak ada yang menghalangi dan semua makhluk serasa menghormati.
Akan tetapi, sebelum kita menelan bulat-bulat perasangka tersebut, cobalah selidiki lebih mendalam, tembuslah dinding istananya, dan dengarlah senyap-senyap keluh-kesahnya. Sejujurnya, dalam tahta yang megah itu terdapat jiwa yang lelah, dalam tembok yang tinggi itu, terkapar hati yang mati.
Jika kebahagiaan sejati itu bukanlah pada tempat yang selama ini kita sangka ada di dalamnya. Lantas, dimanakah tempatnya? Seperti apakah tuntunan Pencipta kita dalam mengarungi kehidupan ini...

Saudaraku...!
Manusia diciptakan oleh Allah , bukan mereka yang menciptakan diri mereka. Sudah tentu yang paling tahu tentang seluk-beluk manusia termasuk tentang sebab bahagia atau sebab sengsara adalah Dia, bukan dia. Sama halnya dengan sebuah produk, HP misalnya, sekiranya hendak mengetahui fungsi tombol, menu, akibatnya kalau begini-begitu dan sebagainya..., tentu kita akan melihat petunjuk yang diberikan oleh si pembuat HP tersebut, karena dialah yang lebih mengerti tentang produk buatannya.
Allah berfirman:
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)
Ketika kita telah meyakini dan benar-benar berusaha menyelami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber petunjuk hidup, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang hakiki bukanlah pada harta, bukan pada jabatan, bukan pula pada ritual-ritual tertentu yang disangka sebagai pendatang kebahagiaan, akan tetapi, kebahagiaan itu, ternyata ada pada sejauh mana aplikasi penghambaan diri kita kepada Allah . Orang yang bahagia adalah orang yang telah berhasil menjadi hamba Allah . Sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan oleh-Nya dalam meniti jalan penghambaan diri kepada Allah .
Karena penghambaan diri inilah sebab diciptakannya manusia dan jin, karena ubudiyah kepada Allah lah ditegakkannya langit dan dibentangkannya bumi. Karena penghambaan inilah diturunkannya kitab dan diutusnya rasul. Allah Yang Maha Tahu berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56)
Sedangkan orang yang berpaling dari alur yang telah ditetapkan-Nya, maka sudah dapat dipastikan akan menjalani kehidupan yang sengsara.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 124)
Itulah ketetapan Allah , Dzat Pencipta alam raya dan juga diri kita sebagai salah satu bagian dari penghuninya.

Saudaraku...
Lantas..., yang kita harus pahami juga adalah, bahwa Allah telah menentukan takdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah takdir selain-Nya. Tidak ada satupun yang dapat melepaskan diri dari kesengsaraan jika Allah telah mentakdirkan, begitupun, tidak ada yang dapat melepaskan kebahagiaan dari diri seseorang jika Allah telah mentakdirkan kebahagiaan itu langgeng baginya.
Kalau begitu, kemana manusia akan lari? Kemana manusia hendak berteduh dan bernaung dari takdir yang ia tidak memiliki daya dan upaya untuk merubahnya kecuali atas izin-Nya? Kemana manusia hendak bersandar dari sesuatu urusan yang tidak di tangannya?
Tentu, manusia yang berakal akan menjawab semua kegundahan itu dengan menyandarkan dirinya pada Dzat yang telah mentakdirkan segala sesuatu. Dalam naungan-Nya ia akan merasakan ketenangan, kebahagiaan dan terlepas dari segala kesengsaraan dan kesedihan, sekalipun hidupnya tampak dalam kesusahan.
Seperti yang telah kita saksikan pada diri Ibnu Taimiyah. Apa yang telah kita dengar dari perkataan Beliau bukanlah sekedar ucapan penghibur belaka, namun murni muncul dari kesadaran yang begitu tinggi akan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Hadir dari pemahaman yang mendalam bahwa Allah lah satu-satunya tujuan utama dari segala sesuatu yang ada di alam raya ini.
Inilah kebahagiaan hakiki yang selama ini kita cari, dan bahkan sangat kita harapkan. Segala kegundahan akan sirna, segala beban akan terasa ringan manakala kita memahami betul bahwa segala kesusahan itu tidaklah ada apa-apanya dibandingkan dengan semua limpahan nikmat yang telah dan akan Allah berikan bagi orang-orang yang menghambakan diri kepada-Nya secara total.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di Akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhoan- Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)


0 komentar

Post a Comment

Yuk.Ngeblog.web.id

Pengikut Seiman

Pesan Tulisan


ShoutMix chat widget