Recent Posts

Recent Comments

FAJRI 99.3 FM


Tinggal Click

Jualan Buku Tanpa Modal

Sudah Gratis, Tok Cer lagi

smadav antivirus indonesia

Malam itu tak begitu cerah... Untuk beberapa saat, sekelompok awan hitam dengan cepat menelan separuh cahaya bulan..., membuat pemandangan di sebagian tempat menjadi gelap..., dan pada sebagian orang, gelap itu menghalangi keindahan yang sedang mereka nikmati, namun tidak bagi lelaki separuh baya itu. Gelap itu justru menambah syahdu renungannya... Di malam itu, ia sedang berusaha menangkap ceceran pertanyaan yang belakangan ini seringkali hinggap di dalam jiwanya, namun sayang, setelah tertangkap, kesemua itu tak jua ia temukan jawabannya. Yang bisa ia lakukan hanya sekedar merangkainya saja, terus memanjang, hingga pada ujungnya ia dapati sebuah kesimpulan pertanyaan, “Kenapa hidup ini begitu hampa, kosong?”
Beberapa saat ia mencoba mengendapkan hati. Membuka dengan cepat beberapa “file” yang lumayan jauh tersimpan di dalam memorinya.
Ia mulai merenung tentang awal kehidupannya, bahwa ia hanyalah seorang bayi tak berdaya yang lahir ke dunia. Merangkak, berlari serta bermain-main? Hanya itu yang ia tahu. Hingga akhirnya ia beranjak dewasa. kematangan akal telah mengantarkannya menjadi makhluk sosial, bergelut dengan dunia, serta bertarung dengan kerasnya waktu. Terus dan terus..., tapi hanya berputar saja, berkutat pada rutinitas yang hampir sama setiap waktu.
Sampai pada suatu saat ia dapati dirinya sejenak terhenti dengan kegalauan yang sangat. Terhenti di saat setumpuk dunia telah tertampa di telapak tangan. Rumah, kendaraan, serta berbagai kesenangan lainnya. Ternyata, semua itu begitu menyilaukan. Menutup seluruh bagian yang ada di hadapannya. Seakan-akan ada gunung yang menjulang di depan mata.
Padahal, ada satu pemandangan yang samar-samar tampak di hadapannya. Pemandangan akan satu negeri yang entah kapan pernah ia dengar. Namun ada, terdengar dan mengetuk jiwanya. Semakin ia mengingatnya semakin nyaring terdengar dari kedalaman hati. Untuk beberapa saat, ia mencoba mengingatnya lagi dengan lebih keras.
“... Ah... iya, itu dia, negeri yang “lain”. Negeri yang selama ini samar-samar berada di hadapannya. “Apakah karena ketidakhadirannya di dalam jiwa membuat hidup ini menjadi hampa?” Ia mencoba bertanya lagi...
Secercah cahaya mulai menyibak kabut yang menghalangi hakikat kehidupan yang sesungguhnya.
Dengan segera ia melirik pada Al-Qur’an yang telah lama bersender di pojok lemari buku. Ayat per ayat ia buka, mencoba mencari Firman yang pernah diajarkan oleh gurunya dahulu... mmmhh... Dengan nafas yang agak tersengal dan mata yang mulai berlinang ia perlahan membaca Firman Pencipta-nya:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minuun: 115)
Ia tersentuh... Air matanya bercucuran... Kegelapan pun mulai sirna..., dan cahaya mulai berpancaran di hatinya...
“Ya Allah... betapa lamanya hati ini telah melupakan-Mu... betapa gersangnya hidup ini tanpa petunjuk-Mu... Setelah mengarungi kehidupan puluhan tahun lamanya dengan berbagai kenikmatan yang Engkau berikan, dengan berbagai petunjuk yang Engkau tampakkan, baru aku sadari hakikat kehidupan ini... Ya Allah... ampunilah segala khilaf hambamu ini...!”

Saudaraku...
Itulah sedikit kisah atau gambaran kehidupan yang sepertinya hampir kita dapati pada diri setiap insan manusia. Terutama pada mereka yang masih terdapat setitik cahaya di dalam hatinya. Mereka yang masih “hanif” tentu akan merasakan kegalauan manakala kegelapan meliputi hatinya dan hanya tersisa setitik cahaya yang menemaninya... Seperti seseorang yang hampir seumur hidupnya berada di suatu ruangan yang terang dipenuhi cahaya, namun tiba-tiba pada suatu hari cahaya tersebut meredup, meredup, dan meredup... hingga tak ada yang dapat ia lihat lagi kecuali setitik cahaya di ujung tempat yang sangat jauh sekali. Ia tidak berusaha mendekati cahaya itu, karena tubuhnya telah tenggelam dalam kegelapan.
Hati juga seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad adalah layaknya perut, ia butuh makanan yang baik, dan bahkan ia lebih berharga dari sekedar perut. Seseorang yang masih terjaga fitrahnya, tentu akan merasakan lapar yang sangat jika hatinya tidak pernah diisi oleh makanan.
Dan pada hakikatnya, meredupnya cahaya hati seseorang adalah karena kemaksiatannya, dan laparnya hati seseorang adalah karena tidak ada ilmu, tausiyah serta nasehat kebaikan yang tersuplai ke dalamnya.
Itulah..., kenapa di saat menjejaki usia yang tak muda lagi, terkadang, kita semakin merasakan kehampaan jiwa. Karena bisa jadi selama ini, detik perdetik hidup kita dihabiskan pada rutinitas yang hanya dapat mengenyangkan nafsu perut serta memuaskan nafsu syahwat belaka. Sedangkan hati yang seharusnya kita isi dengan “makanan imaniyah” tidak pernah kita usahakan.
Dan pada intinya, penyebab utama dari lalainya kita dari usaha tersebut adalah karena kita sudah lupa atau bahkan tidak mengerti akan hakikat kehidupan yang sesungguhnya.
Oleh karena itu wahai saudaraku...! di sini, mari kita sekali lagi mencoba untuk mengerti serta merenungi tentang hakikat yang agung ini.
Seorang Badui Jahiliyyah berkata, “Lautan yang berombak dan langit yang berbintang serta bumi yang berlembah, bukankah semua itu menunjukkan adanya Sang Pencipta?”
Betul sekali...! Bukankah dari sepanjang perjalanan yang pernah kita lewati, kita juga terkadang berpikir demikian, seperti layaknya Badui itu? Badui adalah orang yang boleh dikatakan primitif, tidak modern dan memiliki pemikiran akal yang pendek. Namun, cobalah dengar sekali lagi dengan apa yang dia katakan, bahwa kebesaran, kerumitan serta keteraturan alam semesta ini pasti menghendaki adanya Sang Pencipta. Ini bukanlah pemikiran primitif! Ini adalah pemikiran suci yang lahir dari fitrah yang tertanam dalam jiwa setiap insan manusia.

Saudaraku...
Dia lah Allah yang telah menciptakan bumi beserta jagad alam raya ini. Dan kita percaya itu...
Begitu besar penciptaan langit dan bumi beserta isinya, memberi pengertian kepada kita bahwa Allah menciptakannya bukan sekedar main-main.
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36)
Sekiranya kehidupan yang penuh keseimbangan ini diciptakan untuk bersenda-gurau, lalu untuk apa Allah ciptakan? Apa tugas manusia? Apakah mereka hanya sekedar makan, minum, menikah dan memiliki keluarga dan mempererat suku saja? Atau ia hidup tidak bertujuan sebagaimana ia mati tidak bertujuan? Tanah terakhir yang diletakkan oleh orang pada kuburannya, itu pula akhir dari cerita kehidupannya?
Bagaimana yang kaya dengan kezhalimannya, bagaimana yang berkuasa dengan kediktatorannya? Apakah mereka dibiarkan begitu saja? Bagaimana pula si miskin dengan kefakirannya atau rakyat jelata dengan penderitaan mereka? Kapan mereka dapat kebahagiaan pula?
Sekiranya dunia ini diciptakan dengan keadilan Sang Pencipta, tentu balasan baik atau buruk dengan keadilan-Nya juga? Sekiranya dunia ini mampu Dia ciptakan dari asal yang tidak ada, berarti Dia pula mampu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan.
“Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yaasiin: 32-40).
Inilah kisah serta awal perenungan kita. Semoga bisa menjadi penambah cahaya di dalam setiap hati kita untuk memulai langkah besar menuju kebangkitan hamba yang seutuhnya.

0 komentar

Post a Comment

Yuk.Ngeblog.web.id

Pengikut Seiman

Pesan Tulisan


ShoutMix chat widget